Hadirmu mungkin bagai momok yang aku tak pernah tau kapan
itu awalnya. Seolah dengan kuasa mu, kamu (mungkin) mampu menghancurkan tegar
nya karang. Kamu nahkoda. Ya nahkoda akan ego mu yang tak jera. Dengan terpaan
ombak dan bisunya karang tak pernah kau hiraukan.
Batu!
Entahlah itu aku yang miliki ego terlalu menjulang, atau kamu yang seakan tak mengerti adanya angin yang berbeda dari mataku.
Awalnya?? Ah sudah lah mungkin sebentar lagi seperti lelaki yang lain, kebisuan ku akan menyurutkan nyali mu, dan akhirnyaaa.. tiba-tiba menghilang.
Tapi kamu? Seolah tak kenal apa itu arti kediaman ku. Aku telah berkecipak dengan air, ya sudah selami saja sekalian. Urusan besok akan selamat dengan bahagia atau tenggelam dengan penyesalan akan kupikirkan nanti. Itu mungkin pikir mu.
Namun aku? Terkungkung dalam baris ribuan tanda tanya. Aku masih saja setegar karang, menjaga ego, menepiskan luka yang kian membujur dalam palungku. Aku masih saja membisu memperhatikan setiap gerak mu yang aneh. Kamu yang mencoba pelan – pelan menyusun isyarat. Bahwa aku teramat indah di hadapanmu.
Nyaman. Itu kata yang sanggup aku ucapkan. Itu sekarang. Entah lah untuk esok. Aku yang menggantungkan jawaban itu.
Waktu melesat bagai roket.
Arti hadirmu kini seperti piasan warna jingga di sore hari. Kini aku baru menyadarinya. Aku yang dulu tak pernah peduli akan lukisan Tuhan itu tapi sekarang waktu berbalik. Waktu di mana (kita) aku yang biasanya telah mengakhiri rutinitas untuk sehari ini, menunggu kau menelpon.
Klasik!
Tapi ini apa adanya.
Yah selepas ku menunaikan tugasku atau disela waktu makan siang, kamu (dulu) menyempatkan waktu untuk menelepon, sekedar hanya ingin menanyakan kabar apakah aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. pastinya. BAIK dengan versi ku sendiri. Tapi tak satupun itu ada kamu di layar Handphone ku. Kamu seperti menghilang. Kebiasaan mu (dulu) sudah tidak lagi. Mungkin itu jawaban ku? Mungkin ini keputusan mu? Karena semua tidak lagi. Aku yang telah membuatnya rumit. Itu kata mu. Maafkan aku. Dan waktu (mungkin) nanti akan berbaik hati pada kita.
Batu!
Entahlah itu aku yang miliki ego terlalu menjulang, atau kamu yang seakan tak mengerti adanya angin yang berbeda dari mataku.
Awalnya?? Ah sudah lah mungkin sebentar lagi seperti lelaki yang lain, kebisuan ku akan menyurutkan nyali mu, dan akhirnyaaa.. tiba-tiba menghilang.
Tapi kamu? Seolah tak kenal apa itu arti kediaman ku. Aku telah berkecipak dengan air, ya sudah selami saja sekalian. Urusan besok akan selamat dengan bahagia atau tenggelam dengan penyesalan akan kupikirkan nanti. Itu mungkin pikir mu.
Namun aku? Terkungkung dalam baris ribuan tanda tanya. Aku masih saja setegar karang, menjaga ego, menepiskan luka yang kian membujur dalam palungku. Aku masih saja membisu memperhatikan setiap gerak mu yang aneh. Kamu yang mencoba pelan – pelan menyusun isyarat. Bahwa aku teramat indah di hadapanmu.
Nyaman. Itu kata yang sanggup aku ucapkan. Itu sekarang. Entah lah untuk esok. Aku yang menggantungkan jawaban itu.
Waktu melesat bagai roket.
Arti hadirmu kini seperti piasan warna jingga di sore hari. Kini aku baru menyadarinya. Aku yang dulu tak pernah peduli akan lukisan Tuhan itu tapi sekarang waktu berbalik. Waktu di mana (kita) aku yang biasanya telah mengakhiri rutinitas untuk sehari ini, menunggu kau menelpon.
Klasik!
Tapi ini apa adanya.
Yah selepas ku menunaikan tugasku atau disela waktu makan siang, kamu (dulu) menyempatkan waktu untuk menelepon, sekedar hanya ingin menanyakan kabar apakah aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. pastinya. BAIK dengan versi ku sendiri. Tapi tak satupun itu ada kamu di layar Handphone ku. Kamu seperti menghilang. Kebiasaan mu (dulu) sudah tidak lagi. Mungkin itu jawaban ku? Mungkin ini keputusan mu? Karena semua tidak lagi. Aku yang telah membuatnya rumit. Itu kata mu. Maafkan aku. Dan waktu (mungkin) nanti akan berbaik hati pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar