Sekali lagi, semalam lidah ku kelu saat dia mencoba inginkan sedetik saja mendengar suaraku. Aku tak mampu Tuhan mendengar suaranya. Aku takut akan ada air mata lagi terburai. Sungguh aku merindukannya. Tidak hanya semalam, namun malam-malam yang lain setelah kepulangnnya.
Maafkan aku yang masih saja mendiamkanmu.
Tuhan, dia tak pernah tahu bagaimana aku yang mati-matian saat aku berada dengan yang namanya stasiun. Iya hari itu. Hari terakhir dimana kita telah mengahabiskan waktu bersama walau harus mencuri-curi waktu. Sungguh batin ini ingin sekali berteriak sekencang yang aku bisa bahwa aku teramat ingin memeluk dia. Aku benci dengan punggung dia yang menjauh. Aku benci harus melihat dia tenggelam seiring berjalannya pintu kereta. Bahkan saat itu aku paham betul bagaimana dia mencoba membujuk aku untuk ikut mengantar sampai ke batas pengantar namun aku mencoba untuk mengelak. Iya andai dia tahu Tuhan aku tak kuasa harus menahan air mata ini. Jangankan memandang punggungnya memandang matanya pun aku tak sanggup. Walaupun sebelunnya sudah aku curi waktu untuk melihat matanya yang baru aku sadari ternyata dia memiliki kornea mata berwarna coklat. Tuhan, kenapa baru aku sadari, kau telah ciptakan mata yang selama ini ingin aku ingin miliki. Tak bulat tapi tak juga kecil dan memiliki kornea mata nyaris coklat sempurna, dengan bulu mata yang ahh... tak kuasa lagi aku menggambarkannya.
Sesak. Sungguh.
Tuhan malam ini boleh kah aku meminta satu hal. Jika aku tak bisa sedekat itu lagi dengan dia, jika aku tak bisa memiliki dia, jika aku tak dapat memiliki mata seperti yang kau ciptakan untuknya boleh aku suatu hari nanti masih diberi kesempatan memandang lebih lama lagi mata itu walau dalam jarak yang tak sedekat dulu?? Aku hanya ingin isyaratkan dia bahwa aku masih akan tetap merindukannya saat dingin malam telah menyelimutinya.
Aku masih ingin berdiri tepat di belakang dia sembari mengikuti segala gerakan sholatnya. Ya. Aku masih ingin menjadi makmumnya. Menunaikan sholat bersama. Bahkan sampai saat datangnya sang fajar di keesokan harinya. Aku masih ingin bertahajud berjamaah dengannya. Namun dengan label yang berbeda.
Aku masih ingin setiap pagi mengantar teh tawar kesukaannya. Melihat raut wajahnya, namun dengan label yang berbeda dengan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar